Selasa, 07 November 2017

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE



MEMBANGUN CORPORATE CULTURE
DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM

Oleh Fathor Rachman


Corporate culture (budaya kerja korporasi) adalah keseluruhan kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai (values) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi, dan menjadi dasar berpikir, berperilaku dan bertindak seluruh komunitas yang terlibat dalam suatu organisasi, sehingga menjadikan organisasi tersebut berkualitas, maju, sukses dan terpercaya (trusted).
Budaya kerja ini dapat didayagunakan sebagai daya dorong (motivasi) yang efektif dalam mencapai tujuan organisasi untuk membuat customer menjadi puas dan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap eksistensi organisasi tersebut. Terlepas apakah itu organisasi komersial-bisnis (perusahaan) ataupun organisasi sosial seperti lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKI) dan sebagainya, tetapi yang pasti corporate culture inilah yang menjadikan suatu organisasi lebih memiliki daya saing, lebih maju, lebih sukses, dan memiliki ciri khas atau karakter yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya.
Namun demikian, ada beberapa faktor kunci (key factors) yang menyebabkan suatu organisasi, khususnya lembaga pendidikan Islam, dapat memiliki corporate culture yang kuat, yaitu; vision (visi), personality (kepribadian), character (ciri khas).
Visi adalah harapan atau keadaan di masa depan yang ingin dicapai. Visi merupakan sistem nilai dan spirit fundamental yang akan menjadikan suatu organisasi bergerak dinamis mencapai tujuan. Melalui visi inilah seluruh elemen organisasi akan bekerja secara maksimal sesuai dengan tujuan. Visi dalam kehidupan organisasi modern menurut St. Kartono (2002: 4) sama kedudukannya dengan “wahyu”, yaitu sebuah nilai-nilai yang menjadi kiblat suatu konsep lembaga, organisasi, masyarakat ataupun institusi pendidikan Islam. Sebab, visi yang baik dan mudah diingat akan selalu memberi inspirasi menantang untuk mencapai prestasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, ketika visi telah dirumuskan dengan jelas dan inspiratif bagi seluruh elemen organiasi, dengan mudah corporate culture suatu lembaga pendidikan dapat terlihat secara nyata bentuk dan pencapain target yang ingin dicapai.
Selain visi, faktor kunci lainnya adalah personality (kepribadian). Dalam pandangan Stephen P. Robbins (1998: 49) kepribadian adalah karakteristik abadi yang menggambarkan perilaku seseorang dalam suatu organisasi. Artinya, selain sistem nilai dan spirit fundamental berupa visi, keberadaan orang-orang yang ada dalam suatu organisasi juga sangat menentukan kualitas daya saing suatu organisasi tersebut. Sebab, pembentukan budaya korporatif yang baik (corporate culture), yang paling menentukan adalah orang-orangnya. Sebaik apapun aturan atau sistem nilai yang dibuat, tanpa adanya komitmen dari manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik semuanya menjadi nihil.
Corporate culture merupakan salah satu implementation strategy organisasi, yang harus didahului oleh keberadaan orang-orangnya yang memiliki integritas, jujur, kecerdasan sikap, kreatif, team-work, optimis, berprilaku produktif, etos kerja, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak salah kiranya jika prophetic personality (pribadi kenabian) yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (kemampuan komunikasi dan bergaul) dan fathonah (cerdas) dijadikan standar utama untuk memilih orang-orang yang akan ditempatkan dalam suatu struktur organisasi supaya dapat mengkontekstualisasikan visi dengan baik dan jelas. lebih-lebih dalam dunia pendidikan Islam.
Kedua faktor itulah yang kemudian akan mengantarkan suatu organisasi (lembaga pendidikan Islam) memiliki karakteristik yang khas (ciri khas) yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Melalui ciri khas inilah akan diketahui kualitas sistem suatu organisasi yang membuat daya tarik tersendiri kepada para customer (pelanggan: mahasiswa) yang akan menggunakan jasa dan pelayanannya agar semua kebutuhannya terpenuhi dan terpuaskan (all the satisfaction). Membangun corporate culture ini menjadikan budaya organisasi bersifat unik dan menarik. Bentuknya abstrak, namun dinamis dan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen/orang-orang yang berada dalam organisasi maupun orang-orang di luar organisasi (pihak eksternal).
Suatu organisasi boleh saja visinya sama, orang-orang di dalamnya sama dalam kemampuan kinerjanya, tetapi kemampuan mengimplementasikan visi dan mewujudkan integritas, komitmen, konsistensi dan produktivitasnya dalam suatu organisasi (khususnya di dalam lembaga pendidikan Islam) akan berbeda dalam satu organisasi dengan yang lainnya. Sistem kepercayaan dan nilai-nilai inilah yang menjadi jiwa suatu organisasi/lembaga pendidikan Islam yang dapat menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh dosen, karyawan dan mahasiswa untuk bersikap dan berperilaku yang sama berdasarkan prinsip kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut organisasi. Itulah ciri khas tersebut, itu pula yang dimaksud dengan corporate culture tersebut. Wallahu a’lam!

*Fathor Rachman adalah Dosen Tetap INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, DLB STAIMU Pamekasan dan Ketua Yayasan Tarbiyatus Shibyan Pademawu Pamekasan
 

Kepemimpinan




MERINDUKAN PEMIMPIN DAERAH YANG BERINTEGRITAS
Oleh Fathor Rachman (Utsman)*


Momentum pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seretak pada bulan Februari 2017 dan Pertengahan Tahun 2018 akan kembali bergulir. Ritual politik 5 tahunan di berbagai daerah ini tentu akan menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat karena pelaksanaannya cukup melelahkan. Tetapi, dibalik kelelahan itu, mereka berharap akan terbayar dengan terpilihnya kepala daerah yang mampu merealisasikan visi, misi dan janji-janji politiknya serta menjamin keberlangsungan hidup masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera selama 5 tahun ke depan.

Harapan tersebut, bukan tanpa alasan rasional, sebab masyarakat cukup lama mendapatkan perlakukan kebijakan kurang menguntungkan dari kepala daerah terpilih. Janji peningkatan kesejahteraan, penyediaan lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan murah, APBD untuk rakyat, tidak ada pungutan liar dan semacamnya adalah segelintir janji manis para politisi (kontestan Pilkada). Nyaris semua janji-janjinya OK alias Omong Kosong (OK). Hingga muncul anekdot menggelikan di tengah-tengah masyarakat tentang bedanya “Pilkada” dengan “Pil-KB”: kalau Pil-KB, jika lupa (minum) akan “jadi”. Kalau Pilkada, jika jadi akan lupa.
Untuk itu, menghadapi Pilkada serentak 2017 dan 2018 nanti, masyarakat masih berharap munculnya pemimpin baru yang dapat bekerja dengan komitmen yang tinggi untuk menciptakan pemerintahan daerah yang bersih (clean government), jujur dan berwibawa demi kebaikan masyarakat. Sebab, esensi dari kepemimpinan itu adalah sebuah tindakan (kinerja), leadership is an action, not a position.
Berkaitan dengan sikap itulah, maka pemimpin terpilih, dituntut untuk berani melakukan berbagai macam tindakan perubahan dan secara konsisten melaksanakannya dengan komitmen tinggi dalam bentuk kinerja nyata, hanya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, komitmen tinggi tanpa dibuktikan dengan konsistensi tindakan nyata, hanya akan menjadi janji-janji semu penuh ilusi. Itulah yang sering dikatakan oleh Stephen Covey (2004) bahwa “making and keeping promises to ourselves precede making and sleeping promises to others”.
Hubungannya dengan Pilkada, maka daerah yang menjadi kekuasaannya harus dipandang sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang hidup, di mana di dalamnya mengandung elemen bangsa yang harus diberi tindakan dan kebijakan nyata, supaya masyarakat merasakan langsung perubahan nyata kepala daerah terpilih. Untuk itu, pemimpin daerah seharusnya punya komitmen untuk menyusun serangkaian kebijakan dalam bentuk “perilaku-perilaku populis”, bukan “perilaku-perilaku politis” yang hanya merendam kepentingan segelintir orang dan kelompok tertentu demi melanggengkan jabatan (kekuasaan).
Perilaku populis berkaitan dengan komitmen bersama seluruh pejabat daerah yang dipimpinnya untuk menciptakan budaya bersih, perilaku jujur dan pelayanan optimal pada masyarakat di lingkungan birokrasinya. Sementara perilaku politis identik dengan sikap dan perilaku pejabat untuk memanfaatkan posisi politik dan jabatan birokrasinya meraih keuntungan pribadi, memperkaya diri dan melakukan berbagai bentuk pemerasan struktural. Ujung-ujungnya, tawar menawar posisi dan jabatan, sogok menyogok, budaya korupsi dan segala macam tindakan yang menguntungkan pribadi masih sering terjadi di berbagai daerah dengan memanfaatkan jabatan birokrasi. Inilah ”korupsi politik” yang marak terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah maupun pusat kata Bapak Artidjo Alkostar (Hakim Agung RI). 
Untuk itu, pemimpin daerah harus berani memisahkan kepemimpinan dari segala hal di luar wilayahnya, seperti pangkat, jabatan, kedudukan dan sebagainya. Kepemimpinan adalah sikap, tindakan, komitmen, perilaku, kebiasaan dan katakter yang muncul secara internal dalam diri seseorag. Itulah pemimpin yang berintegritas. Sosok pemimpin yang dengan kekuasannya berani bertindak tegas, jujur dan tidak mau kompromi terhadap berbagai macam tindakan dan perilaku yang akan merugikan masyarakat, tanpa harus resah akan kehilangan jabatannya. Ingatlah bahwa pangkat, jabatan dan kedudukan itu hanyalah pseudo leadership (kepemimpinan semu), sementara keadaan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan berkeadilan itulah the real leadership.
Sudah saatnya, kepala daerah terpilih merenungkan pernyataan Bapak Bangsa kita, Kasman Singodimedjo dan H. Agus Salim, bahwa leiden is lijden (memimpin adalah menderita), menderita karena memperjuangkan nasib masyarakat, menderita karena rakyatnya masih banyak yang miskin dan kelaparan. Bukan menderita karena pejabat birokrasinya banyak yang tidak beres, partai politik pengusungnya sedang dirundung masalah korupsi, dan pusing mencari kebijakan politik yang aman.
Masyarakat dan bangsa ini bukannya tidak memiliki sosok pemimpin seperti itu. Hanya saja, situasi politik bangsa kita lebih senang memilih pemimpin yang bisa diajak kompromi dari pada memilih pemimpin yang berani. Untuk itu, kekuatan esensial yang biasanya dimiliki kepala berupa position power dan personal power sebaiknya dijadikan modal utama untuk bertindak melakukan perubahan-perubahan besar melalui kebijakan yang mencerahkan masyarakat. Itulah pemimpin berintegrias yang sedang dirindukan masyarakat. Bukan pemimpin karbitan yang hanya menjadi simbol politik kepemimpin yang semu dan “the law of harvest”. Pemimpin seperti itu tidak akan pernah langgeng. Kejatuhannya hanyalah masalah bom waktu!. 

*Fathor Rachman (Utsman) adalah Dosen Fakultas Tarbiyah INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, tinggal di Pademawu Pamekasan

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM Oleh Fathor Rachman Corporate culture (budaya kerja korpora...